Hiruk pikuk label sekolah standar nasional, sekolah internasional, sekolah berstandar internasional mulai terdengar sejak KTSP didengungkan oleh pemerintah. Sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bahwa setiap kabupaten kota setidak-tidaknya memiliki 1 sekolah standar nasional pada setiap tingkatan (SD, SMP, dan SMA) yang berstandar nasional dan internasional. Ketentuan ini pun direspon oleh pemerintah daerah dalam hal ini propinsi dan kabupaten kota dengan melekatkan sebuah label sekolah standar nasional dan sekolah standar internasional pada sekolah yang “dipercaya”.
Dalam melekatkan label tersebut sekolah seharusnya memperhatikan 8 Standar Nasional Pendidika (SNP) yang meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Standar Sarana Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian.
Dari hal tersebut sudah sangat jelas bahwa sebuah sekolah menjadi SSN atau SBI tergantung dari 8 standar yang harus dipenuhi. Sekolah-sekolah yang mempunyai 8 Standar akan menjadi sekolah yang mampu menerlorkan generasi yang mumpuni yang mampu menjawab tantangan ke depan. Tidak hanya menjadi penonton di era global tetapi sudah mampu menjadi pemain, dan menjalankan perannya dalam proses kemajuan.
Di masyarakat terjadi pergeseran pengertian antara sekolah SSN dan SBI dengan sekolah nasional atau sekolah internasional. Kadang masyarakat tidak tahu manakah sekolah yang standar internasional dan manakah yang menyebut dirinya sebagai sekolah internasional. Label ini mempengaruhi jumlah anggaran yang jumlah sumbangan yang harus diberikan orang tuas siswa terhadap satuan pendidikan. Bahkan pergeseran sudah sampai pada pemakaian bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Pada UU Sisdiknas pasal 33 di sebutkan (1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. (3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Dari urutan yang ada sudah dijelaskan secara gamblang bahwa bahasa pengantar yang utama adalah Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, dan bahasa asing sebagai bahasa pengantar hanya dapat dilakukan dan lebih mengarah sebagai saran. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar menambah kerumitan dalam proses pembelajaran. Sekolah-sekolah mematok dan memaksa agar siswa dan guru dalam PBM menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa Inggris di Negara seperti Jepang, China, Thailand juga tidak lazim digunakan. Negara dengan tingkat kemampuan teknologi tersebut lebih mengedapankan bahasa ibu dalam hal ini bahasa negaranya sebagai bahasa pengantar dalam PBM.
Siswa lebih mengerti jika diajarkan dengan bahasa mereka sendiri. Menurut Susana Romaine dari University Of Oxford, Inggris mengemukaan : banyak negara yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar tak lebih agar bisa diakui memiliki standar internasional. Penggunaan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran bagi Negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama akan lebih beresiko. Karena guru dan siswa yang tidak mahir berbahasa Inggris menjadi proses pembelajaran semakin tidak jelas.
Proses pembelajaran akan lebih menarik minat siswa jika bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kegagalan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia lebih disebabkan karena kultur dan kehidupan sehari-hari yang menggunakan bahasa local sebagai bahasa komunikasi daripada bahasa Inggris. Maka jika proses pembelajaran dilakukan dengan mengunakan bahasa Inggris akan menimbulkan persoalan baru, bahkan dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pembelajaran.
Bukankah saat ini pembelajaran dengan cara bilingual, dengan buku bilingual yang dibaca tetap dalam bahasa Indonesianya baru dilirik bahasa Inggrisnya. Bagaimana mungkin sebuah proses pembelajaran dapat mencapai esensi materi, jika bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar tidak dikuasai secara baik.
Apakah dengan tidak menguasai bahasa Inggris secara aktif, kita akan tertinggal ? Jawabannya “Tidak” karena sekarang ada banyak alat ICT yang dapat menterjemahkan tulisan dalam bentuk bahasa manapun dengan cepat dan cermat. Sudah saatnya kita belajar dari Jepang yang menggunakan proses pembelajaran tradisional dengan bahasa mereka sendiri tetapi melahirkan yang gemilang. Mereka lebih senang menerjemahkan buku-buku dari bahasa lain ke dalam bahasa Jepang. Mengapa kita tidak melakukan itu?
Kekawatiran lain juga timbul, jika semua menggunakan bahasa Inggris mampukah, atau jika mampu apakah bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dapat bertahan atau mungkin saja akan musnah. Kita harus berfikir jernih bahwa sekolah berstandar internasional tidak sama dengan sekolah internasional, jadi bahasa pengantar dalam bahasa ibu (sebut bahasa daerah) atau bahasa Indonesia tetap akan memberikan kualitas dengan standar internasional. Bahasa asing dapat dijadikan sebagai salah satu bahasa yang dipelajari di satuan pendidikan tetapi bukan sebagai bahasa pengantar. Di sekolah-sekolah pada daerah tertentu justru penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar akan menjadi boomerang karena kita hanya berkutat dengan bahasa, bukan urgensi materi pembelajaran. Lalu apakah kita belajar bahasa asing atau belajaran ilmu pengetahuan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar