Diskursus terbuka
Wacana pendidikan karakter memang menarik dibicarakan. Hal sepenting pembentukan karakter yang menyangkut pertumbuhan individu dan warga negara di masa kini dan mendatang tidak mungkin hanya dibicarakan oleh sekelompok elit pengambil keputusan. Diskursus terbuka mesti menjadi hal yang wajar, karena pendidikan adalah tanggungjawab semua.
Gambaran kucing hitam sebenarnya menunjuk pada berbagai macam tema terbuka yang mesti dipertimbangkan secara serius oleh setiap pendidik dan para pengambil keputusan sebelum mereka mengembangkan pendidikan karakter. Meskipun pendidikan karakter dirasakan kemendesakannya, baik itu berkaitan dengan pengembangan pembentukan diri individu secara utuh, serta dampak-dampak pembentukan karakter bagi kelangsungan sebuah masyarakat, pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang tidak jelas dengan sendirinya (self-evident).
Klaim pemahaman tentang pendidikan karakter bisa melibatkan berbagai macam kepentingan, seperti kepentingan politis, sosial, budaya, agama, psikologi, pendidikan, dan psikis. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan kebaikan dan kesejahteraan individu dan masyarakat mau tidak mau mesti melibatkan banyak pihak. Perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan konflik satu sama lain dalam rangka pengembangan pendidikan karakter.
Namun, meskipun setiap pihak memiliki perbedaan kepentingan dalam pengembangan pendidikan karakter, ada dua hal yang sama-sama menjadi tantangan bagi setiap klaim yang mereka ajukan. Pertama, fokus bagi pendidikan karakter. Kedua, metodologi. Ketiga, evaluasi.
Fokus pendidikan karakter
Ada tiga fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi wacana. Pertama, pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification) dan yang terakhir pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuham moral Kohlberg (character development).
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dll, agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klarifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan pemerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.
Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), namun tetap saja mereka memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai. Sedangkan fokus ketika mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.
Metodologi
Hiruk pikuk debat tentang pendidikan karakter terutama berkaitan dengan metodologi atau pendekatan. Pendekatan pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti ketika pada masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila, dikhawatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang mematikan nalar dan daya kritis siswa.
Pendekatan pendidikan karakter bisa dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.
Apapapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah, dll.
Evaluasi
Yang paling membingungkan ketika berbicara tentang pendidikan karakter adalah persoalan tentang evaluasi, yaitu tentang cara dan tujuan evaluasi. Pendidikan karakter seringkali dianggap sebagai bidang yang sulit untuk diukur, dinilai dan dievaluasi. Membuat mata pelajaran tentang pendidikan karakter, dan dengan demikian menilai pengetahuan siswa tentangnya melalui tes tertulis akan lebih mudah dibandingkan menilai perilaku siswa. Ada persoalan serius berkaitan dengan cara-cara penilaian dalam pendidikan karakter.
Masalah evaluasi sering dikaitkan dengan tujuan pendidikan karakter. Apakah evaluasi mesti dikaitkan dengan kenaikan kelas, atau kelulusan, seperti yang selama ini dianjurkan pemerintah, dimana penilaian budi pekerti, perilaku, sikap, bisa menjadi alasan untuk tidak menaikkan atau meluluskan siswa? Faktanya, kriteria penilaian yang sumir seperti ini seringkali hanya sekedar menjadi macam kertas, dan tidak terjadi di lapangan. Asal anak lulus ujian nasional, persoalan budi pekerti, moral, perilaku siswa tampaknya masih bisa diabaikan.
Kucing hitam atau kotak hitam?
Pendidikan karakter tidak perlu dipahami seperti kucing hitam jika kita mampu memetakan persoalan, serta berani bertindak untuk menjawab tantangan bagi pengembangan pendidikan karakter. Indoktrinasi, bisa jadi menjadi salah satu tantangan. Namun, relativisme moral, serta reduksi pendidikan karakter pada hal yang sifatnya rohani, spiritual, atau sekedar pada tata krama dan sopan santun, serta ketidakseriusan pelaksanaan akibat sulit memahami dan menilai pendidikan karakter kiranya menjadi tantangan bagi tiap pendidik dan pengambil keputusan.
Pendekatan yang lebih utuh dan menyeluruh bagi pendidikan karakter kiranya diperlukan. Adanya perbedaan pendapat tentang pendidikan karakter adalah hal yang sehat. Namun, pemaksaan politis, baik itu dari pihak negara, masyarakat, maupun dari pihak sekolah tentangnya, tanpa memberikan ruang bagi dialog, debat, diskusi, kritik yang terbuka, kiranya bukan awal pengembangan pendidikan karakter yang baik.
Pendidikan karakter mestinya menjadi kotak hitam pendidikan, di mana setiap gerak, kegiatan, pemikiran, diskusi, praksis yang terjadi di sekolah dapat ditelusuri kembali, direnungkan, dievaluasi, sehingga jalan-jalan perbaikan itu terbuka. Selalu terbuka pada perbaikan, inilah salah satu sikap yang mesti dimiliki jika kita ingin mengembangkan pendidikan karakter yang berkesinambungan.
sumber : Doni Koesoema A. Alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar